Tuesday, December 05, 2006

Ibadah Haji dan Umrah :.


DASAR HUKUM

--------------------------------------------------------------------------------
Haji sebagai salah satu rukun Islam yang kelima dan wajib dilaksanakan setiap muslim yang mampu satu kali seumur hidupnya didasarkan pada firman Allah swt dalam surah Ali 'Imran (3) ayat 97 seperti disebut di atas. Kemudian pada ayat lain Allah swt berfirman yang artinya: "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah..." (QS.2:196), "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rajas, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji..." (QS.2:197),

"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak..." (QS.22:27-28).

Sedangkan kewajiban haji bagi setiap muslim yang mampu satu kali seumur hiduphya dalam hadis Rasulullah SAW dijumpai dalam riwayat dari Abu Hurairah: "Rasulullah SAW berkhotbah kepada kami. Katanya: "Wahai manusia, Allah telah memfardukan haji bagi kamu, maka laksanakanlah." Kemudian seseorang bertanya, "Apakah haji itu dikerjakan setiap tahun ya Rasulullah?" Rasulullah SAW kemudian diam, sampai-sampai lelaki itu mengulangi pertanyaan itu sebanyak tiga kali. Kemudian Rasulullah SAW berkata: "Kalau saya katakan benar, pasti akan wajib tiap tahun, tetapi kalian tidak akan mampu" (HR. Ahmad bin Hanbal, Muslim, dan an-Nasa'i).

Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda: "Ikutilah amalan haji dengan umrah, karena kedua amalan itu meniadakan sifat kikir dan dosa sebagaimana ahli logam membuang karat dari besi, perak, dan emas. Tiada lain pahala yang diterima haji yang mabrur (diterima) kecuali surga" (HR. at- Tirmizi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah dari Ibnu Mas'ud).

Berdasarkan hadis-hadis ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa kewajiban haji bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan biaya, waktu, tenaga, dan aman dalam perjalanan, hanya satu kali seumur hidup. Namun demikian, Rasulullah SAW menganjurkan bagi orang yang memiliki kemampuan biaya, fisik, dan waktu untuk melaksanakan ibadah haji sekali dalam lima tahun (HR. al-Baihaki dan Ibnu Hibban dari Abu Sa'id al-Khudri).

Hukum Ibadah Haji dan Umrah
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa ibadah haji wajib dilaksanakan bagi setiap mukmin yang mempunyai kemampuan biaya, fisik, dan waktu. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang kapan kewajiban itu dimulai, apakah kewajiban itu bisa ditunda, atau harus dilaksanakan segera setelah mampu. Imam *Abu Hanifah, Imam *Abu Yusuf (sahabat Imam Abu Hanifah), ulama Mazhab *Maliki, dan pendapat terkuat di kalangan Mazhab *Hanbali menyatakan bahwa apabila seseorang telah mampu dan memenuhi syarat, wajib langsung mengerjakan ibadah haji dan tidak boleh ditunda ('alâ al-faur).

Jika pelaksanaannya ditunda sampai beberapa tahun, maka orang tersebut dihukumkan *fasik, karena penundaan tersebut termasuk *maksiat. Jika pelaksanaan haji itu ditunda-tunda, kemudian uangnya habis, maka orang tersebut, menurut mereka, harus meminjam uang orang lain untuk melaksanakan ibadah haji itu, karena waktu wajib baginya telah ada, lalu ia tunda.

Alasan mereka dalam menyatakan bahwa pelaksanaan ibadah haji tidak boleh ditunda bagi orang yang telah mampu dan memenuhi syarat adalah firman Allah SWT dalam surah Ali 'Imran (3) ayat 97 dan surah al-Baqarah (2) ayat 196 di atas. Tuntutan untuk menunaikan ibadah haji itu adalah tuntutan yang sifatnya segera, karenanya, tidak boleh ditunda.

Alasan lain yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah SAW: "Segeralah kamu melaksanakan ibadah haji, karena tidak satu orang pun di antara kamu yang mengetahui apa yang akan terjadi" (HR. Ahmad bin Hanbal dari Ibnu Abbas). Bahkan dalam hadis lain Rasulullah SAW seakan-akan mengecam orang yang menunda-nunda ibadah hajinya. Rasulullah SAW bersabda: "Siapa yang tidak dalam keadaan sakit, tidak dalam kebutuhan atau kesulitan mendesak, atau tidak dihalangi penguasa yang lalim, lalu ia tidak menunaikan ibadah hajinya, jika ia mati maka ia bebas memilih untuk secara Yahudi atau secara Nasrani" (HR. Sa'id bin Mansur, Ahmad bin Hanbal, Abu Ya'la, dan al-Baihaki dari Abu Umamah, tetapi salah seorang periwayatnya daif). Hadis yang sama juga diriwayatkan oleh Imam at-*Tirmizi, yang salah seorang periwayatnya juga daif.

Ulama Mazhab *Syafi'i dan Muhammad bin Hasan asy-*Syaibani (sahabat Imam Abu Hanifah lainnya) berpendapat bahwa kewajiban haji itu tidak harus segera dilaksanakan ('alâ at-tarâkhi), tetapi jika memang sudah mampu dianjurkan (disunahkan) segera dilaksanakan dengan maksud agar tanggung jawab atau kewajibannya lepas. Oleh sebab itu, menurut mereka, pelaksanaan ibadah haji bagi yang telah mampu dan memenuhi syarat boleh ditunda, karena Rasulullah SAW sendiri menunda pelaksanaan ibadah haji sampai tahun ke-10 Hijriah (HR. al-Bukhari dan Muslim), sedangkan kewajiban ibadah haji telah disyariatkan pada tahun 6 Hijriah (menurut mereka, ayat tentang kewajiban melaksanakan haji, yaitu surah al-Baqarah [2] ayat 196-197 diturunkan pada tahun ke-6 Hijriah).

Ulama Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa ibadah haji disyariatkan sejak tahun ke-6 Hijriah, berbeda dengan pendapat jumhur ulama fikih yang menyatakan pada tahun ke-9 Hijriah. Di samping itu, lanjut mereka, hadis- hadis yang menyatakan bahwa penunaian ibadah haji harus segera dilaksanakan jika telah mampu dan memenuhi syarat seluruhnya adalah *hadis daif yang tidak bisa dijadikan landasan hukum.

Dalam menetapkan hukum melaksanakan ibadah umrah, ulama fikih juga berbeda pendapat. Pendapat terkuat dalam Mazhab Maliki dan Mazhab *Hanafi menyatakan bahwa umrah itu hukumnya sunah mu'akkad (sunah yang dipentingkan/diutamakan) untuk satu kali seumur hidup. Alasan mereka, seluruh hadis yang berbicara tentang kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam tidak satu pun yang menyatakan bahwa umrah itu termasuk di dalamnya.

Di samping itu, mereka juga beralasan dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam at- Tirmizi, Imam Ahmad bin Hanbal, dan al-Baihaki dari Jabir bin Abdullah. Dalam hadis itu diceritakan bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: "Beritahu kepada saya, apakah umrah itu wajib atau tidak?" Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tetapi jika kamu melaksanakan umrah lebih baik bagi engkau." Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda: "Haji itu adalah jihad dan umrah itu adalah ta-tawwu' (amalan sunah)" (HR. ad-Daruqutni dan al-Baihaki dari Abu Hurairah). Menurut *Ibnu Hajar al-Asqalani, hadis ini daif.

Menurut ulama Mazhab Syafi'i dan salah satu pendapat di kalangan Mazhab Hanbali, umrah ituhukumnya wajib, sama dengan haji. Alasan mereka adalah firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 196 yang artinya: "Dan sempurnakanlah ibadahhajidanumrah karena Allah..." Dalam ayat ini, menurut mereka, Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah sekaligus secara sempurna. Di samping itu, mereka juga beralasan dengan sebuah hadis: "Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW: "Ya Rasulullah, apakah wanita itu berkewajiban untuk berjihad?" Rasulullah SAW menjawab: "Benar, yaitu jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, haji dan umrah", (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaki dari RA Aisyah).



Dalam kepercayaan agama Islam, Haji adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah Syahadat, Salat, Zakat dan Puasa. Arti haji sebenarnya adalah "memaknai, melaksanakan, dan berdoa." Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah Umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 (delapan) Dzulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, Wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi Setan) pada tanggal 10 Dzulhijjah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena berbarengan dengan perayaan ibadah haji ini (wukuf pada 10 Dzulhijjah).

Thursday, September 28, 2006

KISAH 5 PERKARA ANEH


Published with Fototagger

Abu Laits as-Samarqandi adalah seorang ahli fiqh yang masyur. Suatu ketika dia pernah berkata, ayahku menceritakan bahwa antara Nabi-nabi yang bukan Rasul ada menerima wahyu dalam bentuk mimpi dan ada yang hanya mendengar suara.
Maka salah seorang Nabi yang menerima wahyu melalui mimpi itu, pada suatu malam bermimpi diperintahkan yang berbunyi, "Esok engkau dikehendaki keluar dari rumah pada waktu pagi menghala ke barat. Engkau dikehendaki berbuat, pertama; apa yang negkau lihat (hadapi) maka makanlah, kedua; engkau sembunyikan, ketiga; engkau terimalah, keempat; jangan engkau putuskan harapan, yang kelima; larilah engkau daripadanya."

Pada keesokan harinya, Nabi itu pun keluar dari rumahnya menuju ke barat dan kebetulan yang pertama dihadapinya ialah sebuah bukit besar berwarna hitam. Nabi itu kebingungan sambil berkata, "Aku diperintahkan memakan pertama aku hadapi, tapi sungguh aneh sesuatu yang mustahil yang tidak dapat dilaksanakan."
Maka Nabi itu terus berjalan menuju ke bukit itu dengan hasrat untuk memakannya. Ketika dia menghampirinya, tiba-tiba bukit itu mengecilkan diri sehingga menjadi sebesar buku roti. Maka Nabi itu pun mengambilnya lalu disuapkan ke mulutnya. Bila ditelan terasa sungguh manis bagaikan madu. Dia pun mengucapkan syukur 'Alhamdulillah'.

Kemudian Nabi itu meneruskan perjalanannya lalu bertemu pula dengan sebuah mangkuk emas. Dia teringat akan arahan mimpinya supaya disembunyikan, lantas Nabi itu pun menggali sebuah lubang lalu ditanamkan mangkuk emas itu, kemudian ditinggalkannya. Tiba-tiba mangkuk emas itu terkeluar semula. Nabi itu pun menanamkannya semula sehingga tiga kali berturut-turut.
Maka berkatalah Nabi itu, "Aku telah melaksanakan perintahmu." Lalu dia pun meneruskan perjalanannya tanpa disadari oleh Nabi itu yang mangkuk emas itu terkeluar semula dari tempat ia ditanam.

Ketika dia sedang berjalan, tiba-tiba dia ternampak seekor burung helang sedang mengejar seekor burung kecil. Kemudian terdengarlah burung kecil itu berkata, "Wahai Nabi Allah, tolonglah aku."
Mendengar rayuan burung itu, hatinya merasa simpati lalu dia pun mengambil burung itu dan dimasukkan ke dalam bajunya. Melihatkan keadaan itu, lantas burung helang itu pun datang menghampiri Nabi itu sambil berkata, "Wahai Nabi Allah, aku sangat lapar dan aku mengejar burung itu sejak pagi tadi. Oleh itu janganlah engkau patahkan harapanku dari rezekiku."

Nabi itu teringatkan pesanan arahan dalam mimpinya yang keempat, iaitu tidak boleh putuskan harapan. Dia menjadi kebingungan untuk menyelesaikan perkara itu. Akhirnya dia membuat keputusan untuk mengambil pedangnya lalu memotong sedikit daging pehanya dan diberikan kepada helang itu. Setelah mendapat daging itu, helang pun terbang dan burung kecil tadi dilepaskan dari dalam bajunya.
Selepas kejadian itu, Nabi meneruskan perjalannya. Tidak lama kemudian dia bertemu dengan satu bangkai yang amat busuk baunya, maka dia pun bergegas lari dari situ kerana tidak tahan menghidu bau yang menyakitkan hidungnya. Setelah menemui kelima-lima peristiwa itu, maka kembalilah Nabi ke rumahnya. Pada malam itu, Nabi pun berdoa. Dalam doanya dia berkata, "Ya Allah, aku telah pun melaksanakan perintah-Mu sebagaimana yang diberitahu di dalam mimpiku, maka jelaskanlah kepadaku erti semuanya ini."

Dalam mimpi beliau telah diberitahu oleh Allah S.W.T. bahwa, "Yang pertama engkau makan itu ialah marah. Pada mulanya nampak besar seperti bukittetapi pada akhirnya jika bersabar dan dapat mengawal serta menahannya, maka marah itu pun akan menjadi lebih manis daripada madu.
Kedua; semua amal kebaikan (budi), walaupun disembunyikan, maka ia tetap akan nampak jua. Ketiga; jika sudah menerima amanah seseorang, maka janganlah kamu khianat kepadanya. Keempat; jika orang meminta kepadamu, maka usahakanlah untuknya demi membantu kepadanya meskipun kau sendiri berhajat. Kelima; bau yang busuk itu ialah ghibah (menceritakan hal seseorang). Maka larilah dari orang-orang yang sedang duduk berkumpul membuat ghibah."

Saudara-saudaraku, kelima-lima kisah ini hendaklah kita semaikan dalam diri kita, sebab kelima-lima perkara ini sentiasa saja berlaku dalam kehidupan kita sehari-hari. Perkara yang tidak dapat kita elakkan setiap hari ialah mengata hal orang, memang menjadi tabiat seseorang itu suka mengata hal orang lain. Haruslah kita ingat bahwa kata-mengata hal seseorang itu akan menghilangkan pahala kita, sebab ada sebuah hadis mengatakan di akhirat nanti ada seorang hamba Allah akan terkejut melihat pahala yang tidak pernah dikerjakannya. Lalu dia bertanya, "Wahai Allah, sesungguhnya pahala yang Kamu berikan ini tidak pernah aku kerjakan di dunia dulu."

Maka berkata Allah S.W.T., "Ini adalah pahala orang yang mengata-ngata tentang dirimu." Dengan ini haruslah kita sedar bahwa walaupun apa yang kita kata itu memang benar, tetapi kata-mengata itu akan merugikan diri kita sendiri. Oleh kerana itu, hendaklah kita jangan mengata hal orang walaupun ia benar.


HP ANDROID MURAH YANG SUDAH BISA MENGGUNAKAN BBM

BBM tak di pungkirilagi salah satu aplikasi Chatting yang tadinya Exsclusive hanya untuk Hp Blackberry, kini sudah bisa di gunakan di Hp ber...